Antisipasi Pudarnya Nasionalisme Pemuda Peringatan Hari Sumpah Pemuda ANTARA/Puspa Perwitasari Seorang pekerja membersihkan diorama di Museum Sumpah Pemuda, Jakarta Pusat, Senin (26/10). Peringatan Sumpah Pemuda ke-81 pada 28 Oktober mendatang menjadi momentum bagi seluruh elemen bangsa untuk mengenang kembali tekad pemuda Indonesia yang mengikrarkan komitmen persatuan dan kesatuan Indonesia. [JAKARTA] Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Ungkapan itu tampaknya sudah mulai dilupakan oleh generasi penerus setelah 64 tahun kemerdekaan Indonesia. Kepedulian terhadap sejarah kini menjadi pudar seiring dengan perkembangan zaman. Begitu juga menjelang peringatan Hari Sumpah Pemuda yang jatuh setiap tanggal 28 Oktober. Peringatan perjuangan para pemuda dari seluruh pelosok Indonesia yang kala itu berjuang merebut kemerdekaan, kini ditandai oleh pudarnya makna perjuangan para pemuda. Demikian disampaikan oleh Kepala Museum Sumpah Pemuda, Agus Nugroho, kepada SP, di Jakarta, Selasa (27/10). Menurutnya, kunjungan para pelajar dan mahasiwa yang merupakan refleksi generasi elite angkatan 28 (generasi pelopor sumpah pemuda) dirasa sangat kurang. “Kepedulian terhadap Hari Sumpah Pemuda semestinya sudah mulai terlihat, dari antusiasme para pemuda mengetahui sejarah di Museum Sumpah Pemuda. Namun, tampaknya dari tahun ke tahun, antusiasme tersebut memudar dan kunjungan pun mulai sedikit,” katanya. Kunjungan ke Museum Sumpah Pemuda, kata Agus, lebih banyak dilakukan oleh para pelajar yang mendapat tugas dari sekolah. Hanya sebagian kecil pelajar dan mahasiswa yang datang karena kesadaran pada perjuangan generasi terdahulu. Agus juga menambahkan, padahal setiap tahunnya Museum Sumpah Pemuda selalu mereformasi diri agar menarik para pengunjung, terutama para pelajar dan mahasiswa. Letak museum yang dekat dengan beberapa kampus dan sekolah, ternyata juga tidak mendongkrak jumlah pengunjung setiap hari. Pada 2009, Museum Sumpah Pemuda menargetkan jumlah pengunjung mencapai 12.000 orang atau 1.000 orang per bulan, setelah pada 2008 pengunjung hanya mencapai 10.500 orang. Namun, target tersebut diperkirakan tidak akan tercapai, karena hingga Oktober, jumlah pengunjung masih berkisar 8.000 orang. “Dengan harga tiket yang sangat murah, yakni 750 rupiah untuk dewasa dan 250 rupiah untuk anak-anak, jumlah kunjungan dirasa masih sedikit. Pada Hari Sumpah Pemuda, kami malah memberlakukan tarif gratis agar pengunjung meningkat,” tambahnya. Refleksi AK Gani Sementara itu, menjelang peringatan Hari Sumpah Pemuda, besok, Rabu (28/10), Museum Sumpah Pemuda akan melaksanakan upacara yang akan dihadiri oleh Direktur Jenderal Sejarah dan Purbakala, Departemen Ke-budayaan dan Pariwisata, Hari Untoro Drajat. Di samping itu, akan ada pameran tentang salah satu anggota kongres angkatan 28 yang memproklamasikan Sumpah Pemuda. “Kami akan mengusung tokoh kongres serta anggota Komisi Besar Indonesia Muda (KBIM) Adnan Kapau Gani. Dia adalah seorang pemuda yang berprofesi sebagai dokter kala itu, yang berjuang untuk rakyat miskin,” ujar Durahman, Kepala Preparasi dan Konservasi Museum Sumpah Pemuda. [FLS] 2009-10-27Revitalisasi Semangat Sumpah Pemuda dengan Keteladanan [JAKARTA] Pemuda itu selalu membutuhkan keteladanan. Kalau pemimpinnya memberikan teladan yang baik, termasuk untuk menjaga keindonesiaan, pemudanya akan setia. Karena itu, semangat Sumpah Pemuda 1928 perlu direvitalisasi dengan keteladanan pemimpin di segala tingkatan melalui kebijakan-kebijakan dan tindakannya. Hal itu dikemukakan pengamat pendidikan Darmaningtyas, kepada SP, di Jakarta, Selasa (27/10) menjelang peringatan Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober. Darmaningtyas mengatakan, selain revitalisasi melalui keteladanan, semangat Sumpah Pemuda harus ditanamkan dan ditumbuhkan melalui pembenahan arah pendidikan nasional. Persoalannya, katanya, arah pendidikan nasional Indonesia berjalan tanpa falsafah yang jelas. Kacaunya dunia pendidikan nasional disebabkan oleh tidak adanya landasan falsafah yang mendasari praksis pendidikan di lapangan. Landasan falsafah pendidikan yang dimaksudkan adalah visi bersama yang mampu mempertemukan berbagai pemikiran tentang praksis pendidikan nasional. Kealpaan falsafah ini, telah mereduksi perbincangan tentang masalah pendidikan yang terjebak pada persoalan bersifat teknis metodologis. Dia juga menilai, kesalahan terbesar pemerintah dalam hal pengembangan pendidikan adalah terlalu kuatnya intervensi politis, sehingga dunia pendidikan bergantung pada interes politik kelompok penguasa. Dia melanjutkan, untuk dapat melaksanakan paradigma pendidikan, generasi muda harus mendapatkan pendidikan nilai yang di dalamnya ada agama, ideologi, budaya bangsa, pendidikan karakter, serta politik kebangsaan. Pendidikan yang berkarakter itu menekankan tiga komponen karakter yang baik, yaitu pengetahuan tentang moral, perasaan tentang moral, dan perbuatan bermoral. Kegagalan Dia mengingatkan, semua hal baik itu bakal sia-sia jika tidak dibarengi dengan pendidikan politik bagi generasi muda. Dengan pendidikan politik, bisa diperoleh generasi yang berkepribadian utuh, berketerampilan, sekaligus memiliki kesadaran yang tinggi sebagai warga negara. Dia menegaskan, besarnya pengaruh ormas keagamaan dan partai politik tertentu yang telah menunggangi sektor pendidikan untuk kepentingan kekuasaan dapat dijadikan salah satu alasan gagalnya program pendidikan. Politisasi pendidikan dalam bentuk regulasi kebijakan di daerah dalam bentuk peraturan daerah yang cenderung diskriminatif dan jauh dari semangat pluralisme harus dihentikan. “Sungguh memprihatinkan kalau para elite kita tidak mencermati atau pura-pura tidak tahu dengan fenomena pendidikan nasional, yang sudah melenceng ke arah politisasi untuk kepentingan kelompok tertentu. Kalau visi pendidikan nasional tidak lagi membentuk karakter keindonesiaan, ke depan sulit mengharapkan generasi muda bangsa memiliki semangat nasionalisme, seperti dirintis para pendiri bangsa ini. Oleh karena itu, setiap kebijakan pendidikan nasional haruslah selalu mengarah pada tujuan bersama bangsa ini yang pluralis, bukan menuju hegemoni mayoritas kelompok atau kepentingan ideologi tertentu. Sementara itu, Direktur Institut for Education Reform Paramadina Utomo Dananjaya di tempat terpisah mengatakan, pemuda Indonesia masih memiliki semangat nasionalis, salah satunya dengan menghargai kebinekaan sebagai ciri khas bangsa. Meskipun diakui, akhir-akhir ini bangsa Indonesia terganggu oleh gerakan transnasional, dengan paham antipluralisme dan intoleransinya. Namun, jumlah kelompok yang sektarian ini sangat sedikit, bila dibanding dengan pemuda yang pluralis. [W-12/D-13] /Home/Oase/Cakrawala Sumpah Pemuda di Reboan dok. sastra reboan Selasa, 27 Oktober 2009 | 02:10 WIB Adalah kita yang tak bisa lepas dari lingkungan kita. Negeri ini tengah banyak mengajarkan kita pada suatu karakter kita sebagai bangsa Indonesia. Jika diibaratkan tubuh, kita adalah satu tubuh. Jika di Tasik, Jambi, Padang, Pariaman, Bau-Bau, Manokwari, dan beberapa daerah lainnya tengah dilanda gempa, sudah sepatutnya kita yang di Jakarta turut merasakan sakit yang sama, berempati, dan guyub. Demikian pula dengan adanya pemerintahan baru, yang bisa mendatangkan harapan, kecemasan, kewaspadaan dan lainnya, kita juga seharusnya bisa memperlihatkan karakter kita sebagai bangsa Indonesia yang selalu mengutamakan musyawarah dan mufakat. Selain itu pula, di bulan Oktober ini, kita juga kembali diingatkan untuk memperbaiki ikrar kita satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Dan untuk merefleksi bagaimana bahasa Indonesia berkembang menjadi salah satu bahasa yang di beberapa negara mulai diminati untuk dipelajari, di Reboan 28 Oktober nanti akan dihadirkan seorang Gerson Poyk, dia yang dikenal sebagai sastrawan dan juga ahli dalam bahasa Indonesia. Menjadi satu tubuh, tentu tidak melupakan keragaman budaya yang kita miliki. Bahkan kita harus menjaga dan melestarikan. Salah satu bentuk kesenian yang sudah mulai jarang dipertunjukkan adalah tari ngremo dan parikan. Ngremo adalah pembukaan untuk kesenian teater Ludruk dari Jawa Timur. Sedangkan parikan adalah pantun berbahasa Jawa. Di reboan mendatang ada beberapa kolaborasi penyair dari beragam daerah. Seperti Ponco, Hari dan Sandi, yang datang dari Yogyakarta. Dan beberapa penyair muda lainnya seperti Pringadi Abdi yang sedang kuliah di Palembang. Di sisi musik, ada sebuah band yang menyuarakan semangat cinta damai bernama Filo, yang terdiri dari Arya (gitar), Rangga (bass, keyboard), Demmy (vocal, gitar), Eriel (drum). Band tersebut juga akan berkolaborasi dengan Akmal Nasery Basral yang kali ini mencoba keahliannya yang lain selain menulis novel dan cerpen serta puisi. Penampil lainnya adalah seorang penulis yang juga aktivis hak-hak wanita, Mariana Amiruddin yang saat ini sedang mempersiapkan novelnya yang berjudul “Penembak Jarak Jauh”. Petikan novel itu akan dibacakan sang penulis di Rebaon. Reboan juga sering memperkenalkan buku yang baru terbit, baik karya penulis lama atau baru pertama kalinya menerbitkan bukunya. Kali ini Jodhi Yudono, salah seorang blogger Kompasiana, dengan bukunya berjudul “Mbah Surip We Love You Full”. Buku setebal 145 halaman dan diterbitkan Grasindo ini merupakan buku yang paling mampu meraba jeroan Mbah Surip dibanding buku-buku Mbah Surip lainnya yang pernah terbit beberapa saat setelah seniman berambut rasta ini meninggal dunia. Tidak aneh, karena Jodhi yang kini bertugas sebagai jurnalis Kompas.com, adalah teman dekat Mbah Surip, baik dalam berkesenian maupun dalam bersosialisasi. Dengan keragaman seperti itu, maka tema yang diusung oleh Reboan kali ini adalah : Saudaraku Berk/gabung. (*) JY Editor: jodhi Dokumen Otentik SP By Republika Newsroom Selasa, 27 Oktober 2009 pukul 18:45:00 Tidak Ada Dokumen Otentik Tentang Sumpah Pemuda MEDAN–Sumpah pemuda yang diperingati setiap tahun oleh bangsa ini ternyata tidak memiliki dokumen dan bukti sejarah otentik, yang ada adalah keputusan rapat pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. “Berdasarkan data yang ada, tidak pernah ada satu baris pun ditulis kata Sumpah Pemuda dan para pemuda juga tidak sedang melakukan sumpah saat itu,” kata Kepala Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial (Pussis) Universitas Negeri Medan (Unimed) Dr Phil Ichwan Azhari, di Medan, Selasa. Ia mengatakan, berdasarkan catatan dan dokumen sejarah diketahui bahwa hari Sumpah Pemuda yang diperingati sebagai peristiwa nasional, merupakan suatu hasil rekontruksi dari para “Bapak Pembangun Bangsa” ini yang didasarkan pada ideologi-ideologi dari generasi yang berbeda. “Dalam arti bahwa peristiwa 28 Oktober 1928, yang diperingati sebagai hari Sumpah Pemuda adalah rekontruksi simbol yang sengaja dibentuk kemudian setelah sekian lama peristiwa tersebut berlalu, yaitu adanya pembelokan kata `Poetoesan Congres` menjadi kata `Sumpah Pemuda`, ” katanya. Lebih lanjut Ichwan mengatakan, apabila teks asli hasil kongres pemuda 28 Oktober 1928 diteliti maka tidak akan ditemukan kata sumpah pemuda melainkan Poetoesan Congres. Menurut dia, hal tersebut dilakukan sebagai cara Soekarno untuk memberi peringatan keras kepada dalang gerakan separatis yang mulai muncul menentang keutuhan Bangsa Indonesia. Dalam arti bahwa, pembelokan kata “Poetoesan Congres” menjadi kata “Sumpah Pemuda” ditujukan dan digunakan sebagai senjata ideologi terhadap pihak separatis yang dinyatakan melanggar sumpah pemuda tahun 1928. Sebagaimana diketahui, lanjutnya, bahwa pada tanggal 28 Oktober 1954, Presiden Soekarno dan Muhammad Yamin membuka Kongres Bahasa Indonesia yang kedua di Medan, dan Yamin dalam kapasitasnya sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kabinet Ali Sastroamijoyo memberikan pidato pembukaan. Pada saat itu, Soekarno dan Yamin, sedang membangun simbol yang menjadi bagian dari susunan ideologi sebuah bangsa dan negara, dimana pilihannya jatuh pada tanggal 28 Oktober 1928 dan saat itu pula kata “Poetoesan Congres” dibelokkan menjadi “Sumpah Pemuda”. Sejak saat itu yakni tahun 1954, tanggal 28 Oktober dianggap sebagai hari kelahiran sumpah pemuda untuk pertama kalinya. “Dengan kata lain bahwa Kongres Bahasa Indonesia kedua di Medan tahun 1954 itu, telah menjadi awal yang menganggap tanggal 28 Oktober 1928 sebagai hari kelahiran Sumpah Pemuda,” katanya. Staf peneliti Pussis Unimed, Erond Damanik, mengatakan, pada intinya pembelokan kata Poetoesan Congres menjadi Sumpah Pemuda adalah sebagai upaya untuk membentuk kesadaran nasional atas kemerdekaan bangsa ini. Namun demikian, tidak semestinya peristiwa tersebut melahirkan kontroversi baru dalam pembelajaran sejarah nasional Indonesia yang sudah semestinya mendapat penjelasan yang baik dalam pembelajaran sejarah Indonesia. “Ini berarti bahwa perlu dilakukan pengkajian dan penelitian komprehensif sehingga peristiwa 28 Oktober 1928 tersebut dapat dipahami secara detail dan benar,”katanya. ant/ahi
Sumber : http://jakarta45.wordpress.com